Jumat, 22 April 2011

Swasembada Pangan

PENGERTIAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketergantungan pangan masih berbasis pada produksi pertanian. Karena pentingnya pangan, pemerintah mana pun tetap memprioritaskan tersedianya pangan dalam negeri. Kehidupan sosial politik dapat terganggu manakala rakyatnya lapar. Pemerintah dapat jatuh karena masalah kelaparan dan banyak hal yang dapat terjadi, jika pangan tidak tersedia. Indonesia sebagai negara agraria memiliki potensi besar sebagai pemasok pangan untuk dalam negeri maupun ekspor.
Swasembada pangan berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:
1.     Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2.    Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3.    Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4.    Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Ancaman krisis pangan tidak akan terjadi di Indonesia jika mampu swasembada pangan. swasembada pangan harus tepat sasaran. Alasannya, mengantisipasi kemungkinan krisis pangan akibat cuaca ekstrem. Cuaca belakangan berdampak terhadap produksi pangan dalam negeri. Indonesia perlu meningkatkan kemampuan meramalkan iklim untuk memantau musim cocok tanam. Pemerintah, harus menambah ketersediaan pangan. Khususnya kebutuhan pokok seperti padi dan jagung.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SWASEMBADA PANGAN

Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.
Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.
Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional.
Tampaknya, program swasembada pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih  mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam. Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.

Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.

Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan. Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.

Swasembada pangan berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Untuk jagung 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen dan beras 3,2 persen per tahun.

Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, mencapai target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan, pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai 500.000 ha. "Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan," katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia. Kondisi ini, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman.

Jika menggenjot produksi kedelai, produksi jagung akan turun. Sebab, lahan diambil kedelai. Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan. Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu.

Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian. Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian.

Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu. Menyinggung upaya pemerintah mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, pemerintah mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan merangkul swasta, BUMN dan BUMD. "Food estate itu sebagai akselerasi, karena anggaran APBN terbatas. Orientasi ekspor, tetapi kalau kebutuhan dalam negeri berkurang, diutamakan mengisi kebutuhan dalam negeri.”


HAMBATAN DAN PROGRAM SWASEMBADA PANGAN


Beragam komoditas pangan tersebar di di Nusantara ini. Ada wilayah produsen beras, sagu, jagung, talas, kedelai, singkong dan sumber karbohidrat lainnya. Beras dijadikan bahan pangan yang menduduki jenjang sosial yang tinggi. Kemakmuran diukur dengan beras saja. Di kota maupun di desa rakyat masih tergantung pada sesuap nasi. Perlu dipertanyakan apakah badan ketahanan pangan masih perlu dipertahankan.
Persoalan pertanian khususnya petani pangan, kalau tidak diatasi Indonesia akan masuk dalam “belenggu krisis pangan”. Gejala itu sudah ada, meski Kementerian Pertanian yakin dengan target produksi klasik yang setiap tahun naik. Alih fungsi sawah diabaikan, belum lagi kegagalan karena banjir, kekeringan dan hama penyakit. Impor beras yang nyata namun tidak ada upaya untuk memperbaiki produksi dalam negeri. Karenanya kalau kondisi ini berlarut-larut maka krisis pangan tidak terelakkan. Saatnya pemerintah berpihak kepada pertanian, khususnya produksi beras, jagung dan kedelai. Program yang nyata dan konkret. Efi siensi anggaran pertanian dialihkan untuk petani. Mengapa tidak belajar kepada keberhasilan Orde Baru yang dapat mencapai swasembada? Program pemerintah yang jelas meliputi aparatur pertanian, sarana pertanian dan prasarana pertanian.
Ketiga hal itu, kunci untuk berswasembada dan menghindar dari krisis pangan. Faktor tersebut perlu mendapat perhatian untuk menghindari krisis pangan. Pertama, kebijakan dan program pangan nasional sebaiknya tetap ada di tangan pemerintah pusat. Sebab, selama desentralisasi, program pertanian tidak jelas programnya. Ganti pejabat ganti program sehingga yang terjadi diskontinuitas. Yang terjadi pemerintah daerah tidak fokus dan anggaran pertanian tidak mampu mendukung kebutuhan dasar seperti benih, prasarana irigasi baik rehabilitasi maupun pembangunan baru. Kedua, pencetakan sawah baru di setiap wilayah sesuai potensi yang ada. Pembangunan sawah baru didukung prasarana waduk dan irigasi di setiap kabupaten dan kota akan sangat mendukung percepatan pencetakan sawah. Pembangunan rice estate dan semacamnya, tidak akan menjamin pasokan pangan dalam negeri.
Sebab, kegagalan petani dan pertanian akan berdampak pada pasokan pangan. Pada sisi lain, petani adalah pemilik lahan sawah yang sempit. Mereka sangat lemah dalam permodalan. Berbeda dengan petani di negara maju dengan usaha yang berskala ekonomi dan modal yang cukup. Keempat, program dan kebijakan pertanahan yang jelas. Pengalihan fungsi lahan pertanian, khususnya pangan, harus dicegah. Kita memiliki banyak peraturan. Ada tata ruang, tata kota, tata guna tanah, UUPA, Landreform dan IMB, namun semuanya berdiri sendirisendiri. Pengalihan daerah persawahan paling dinikmati pengembang. Banyak faktor pendukung daya tarik seperti dekat sarana jalan, air tanah lebih mudah dan topografi yang rata. Kalau ini tidak dapat dicegah maka alih fungsi lahan akan lebih cepat dibandingkan cetakan sawah baru. Kelima, sumber-sumber permodalan perlu digali pemerintah. Efi siensi anggaran pembangunan pertanian salah satu peluang sumber anggaran untuk subsidi benih, pupuk dan pestisida. Kalau ada bantuan Raskin, mengapa petani tidak diberi subsidi. Miliaran anggaran untuk para penyuluh dihabiskan tanpa jelas oleh peran petugas penyuluh. Petani jalan berdasarkan pengalaman. Petani sudah tahu, masalah perlunya benih berkualitas, pupuk dan pestisida. Tanpa penyuluh tetap bisa jalan.
Lebih bermanfaat miliaran anggaran ketahanan pangan dikembalikan untuk petani dalam peningkatan produksi. Pencetakan sawah baru dengan fasilitas prasarana dapat melalui pinjaman kredit lunak pemerintah. Dengan sawah irigasi, dua hektare per KK sudah dapat mendukung program dengan kredit lunak jangka panjang. Sumber lainnya dari efisiensi BBM. Konon kabarnya konversi minyak tanah ke gas dapat menghemat subsidi lebih dari 40 triliun rupiah. Belum lagi rencana penghapusan subsidi premium.
Mengapa tidak sebagian untuk pangan dalam negeri. Dari pada krisis pangan dan impor yang pasti akan lebih mahal. Kalau satu hektare sawah irigasi teknis dibutuhkan investasi 15 juta rupiah, dengan pencetakan 150.000 hektare per tahun diperlukan dana 2,25 triliun rupiah atau lima persen dari efi siensi konversi minyak tanah. Luasan 150.000 hektare tersebut berarti setiap provinsi kurang lebih 5000 hektare per tahun. Jangan dibiarkan krisis pangan terjadi. Kalau hal ini terjadi sulit diprediksi kerusuhan sosial dan politik yang akan dihadapi. Mudah-mudahan ini dapat menjadi renungan, koreksi dan perhatian pihak pemerintah.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakanakses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.


PROGRAM SWASEMBADA PANGAN PEMERINTAH


Tampaknya, program swasembada pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih  mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam. Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.

Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009. Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.

Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani. Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya.

Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial. Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:

Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.

Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah. Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.

Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :

1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian. 3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.

Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1) Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
(2) Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
(3) Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.

Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :

1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar