SWADAYA
Bina Swadaya, yang sekarang sudah 40 tahun usianya, memberi anugerah keswadayaan kepada individu maupun kelompok yang gigih membangun, atau mewujudkan semangat berswadaya, buat perbaikan mutu hidup warga masyarakat di bidang ekonomi maupun sosial.
Manajemen hidup yang diletakkan di atas landasan swakelola dan swadaya pada mulanya dihidup-hidupkan dan dipelopori sendiri oleh Bina Swadaya, lembaga sosial, nirlaba, diasuh Bambang Ismawan. Sejak tahun 1967, pada permulaan kariernya, hingga hari ini, ia masih tetap hidup sebagai relawan sosial. Ia mendirikan Yayasan Sosial Tani Membangun, yang menerbitkan majalah Trubus. Kemudian didirikan pula Bina Swadaya untuk "melayani" dan menjadi "instrumen" untuk membantu mereka yang membutuhkan pelayanan. Ia sering mengeluhkan peran kaum intelektual kita yang kurang—bahkan mungkin memang tak mau—peduli terhadap kemiskinan yang menjerat nasib hampir 40 juta warga negara yang sudah miskin sejak puluhan tahun lalu.
"Kaum intelektual kita tak memiliki kegigihan dan keseriusan Muhammad Yunus," katanya beberapa lama setelah tokoh ini memenangi hadiah Nobel Perdamaian. Kita memiliki ahli dalam bidang kelautan, tetapi tak mengurus laut. Kita mencetak ahli pertanian, tetapi tak mengurus pertanian. Dan mereka yang ahli dalam bidang kemiskinan pun tak mengurusi kaum miskin. Ini semua karena sejak dahulu kala pemerintah kurang memiliki sensitivitas budaya dalam menetapkan prioritas pembangunan. Sekolah didirikan, ahli-ahli dicetak, tetapi tak disediakan "instrumen" apa pun. Iklim politik maupun ekonomi yang menggalakkan diterapkannya keahlian-keahlian itu juga tak dibukakan.
Tak mengherankan kemiskinan bahkan bertambah, pengangguran meningkat, dan kemampuan kita untuk mengatasinya belum bertambah. "Maka, apa arti strategisnya keswadayaan itu bagi kita sekarang?" Di tengah keterbatasan kemampuan pemerintah, yang tak juga kunjung berhasil mengurangi jumlah kaum miskin dan dari hari ke hari bahkan makin kecil saja nyalinya menghadapi kemiskinan dan pengangguran karena tak mampu membuka lapangan kerja baru, keswadayaan yang muncul dari kalangan nonpemerintah maknanya sangat penting.
Secara politik hal ini memberi harga diri masyarakat dan secara ekonomi memberi mereka kemerdekaan. Economic freedom, biarpun dalam skala kecil, penting bagi warga negara, terutama bila yang bersangkutan terbiasa bergaul dengan warga dari negara-negara lain di dalam percaturan global. Seharusnya "freedom" seperti itu diberikan negara dan di dalam jaminan negara kalau pemerintah sudah bisa menyorot persoalan nasional secara sensitif dengan fokus yang tepat dan merumuskan kebijakan teknis secara tepat pula.
Kelihatannya, pemerintah tak juga berubah menjadi lebih sensitif untuk mengalihkan fokus pembangunan ke arah pro poor public policy dan kemudian melaksanakannya secara konsisten agar kelompok miskin ini mulai disentuh kebijakan yang lebih manusiawi. Pemerintah juga lupa sebenarnya sejak tahun 1980-an fenomena ekonomi kita adalah fenomena sektor informal: fenomena ekonomi rakyat jelata pada umumnya. Sumbangan ekonomi mereka pada negara besar dan mungkin lebih penting dibanding apa yang bisa diberikan kalangan bisnis yang tak memiliki tanggung jawab kemanusiaan. Terutama mereka yang berutang besar dan menyumbang kehancuran ekonomi negara dan masih "pecicilan" ke sana-kemari tanpa merasa bersalah.
Sekarang ini, di tengah lingkungan sosial-ekonomi dan politik maupun kebudayaan yang sudah serba kapitalistik, di mana orang hanya mau berbuat sesuatu hanya kalau ada janji keuntungan materi, ternyata masih bisa kita temukan begitu banyak—ini melegakan dan patut disyukuri—relawan sosial yang gigih menumbuhkan dan mempertahankan semangat keswadayaan tanpa dibayar. Ketulusan mereka tumbuh dari dalam, dipacu semangat untuk maju, agar secara ekonomi, sosial, maupun kebudayaan mereka tak bergantung kepada pihak lain.
Kegiatan berswadaya secara individu maupun kelompok di berbagai tempat di Jawa maupun di luar Jawa sudah berlangsung puluhan tahun. Dan tiap saat muncul orang-orang kreatif yang gigih mengusahakan kebaikan sosial-ekonomi bagi pihak lain yang tetap sustainable. Fenomena microfinance yang melibatkan tak kurang dari 40 juta warga negara yang juga memiliki sustainability jelas merupakan cultural capital bagi bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar