PENGERTIAN
Perikatan
adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih,
yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi.
Hukum
perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai
manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek
kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang
berkewajiban.
· Menurut
Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek
hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak
atas sikap yang demikian.
· Menurut
Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
· Menurut
Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama
seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat
dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
Perikatan dalam arti
luas
Perikatan
yang terdapat dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan
contohnya sebagai berikut:
a)
Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil
tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan
hukum yang merugikan orang lain.
b)
Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena
lahirnya anak dan sebagainya.
c)
Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian
pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d)
Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh
pengurusnya, dan sebagainya.
Perikatan Dalam arti Sempit
Perikatan
yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam
bidang- bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika
Kitab Undang- Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang
Perikatan.
Tetapi
menurut sistematika ilmu pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi
hukukm benda dan hukum perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah
judul Tentang Benda. Perikatan dalam bidang harta kekayaan ini disebut Perikatan
dalam arti sempit.
DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber
dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang. Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat
dibagi menjadi dua, yaitu perikatan terjadi karena undang-undang semata dan
perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a. Perikatan
terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak , yaitu hukum kewarisan.
b. Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi
karena perbuatan yang diperolehkan ( sah ) dan yang bertentangan dengan hukum (
tidak sah ).
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan
perwakilan sukarela.
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang
:
- Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
- Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
- Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
AZAS-AZAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
· Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
· Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para
pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus
saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan
diadakan tersebut.
2.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia
21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
WANPRESTASI DAN
AKIBAT-AKIBATNYA
Wanprestasi adalah prestasi yang tidak
terpenuhi. Apabila si berhutang (debitur), tidak melakukan apa yang dijanjikan
akan dilakukannya, maka di katakana bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Perkataan
“wanprestasi” berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk.
Ada
4 bentuk wanprestasi, yaitu :
1.
Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.
Debitur
memenuhi prestasi namun tidak baik/keliru
3.
Debitur
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya
4.
Prestasi
yang bertentangan dengan apa yang di tentukan dalam perjanjian
Akibat-akibat wanprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
:
a.
Biaya adalah segala pengeluaran atau
pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
c.
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan
perjanjian. Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal
1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3. Peralihan resiko. Adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal
1237 KUH Perdata.
HAPUSNYA
PERIKATAN
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
Ada
tiga macam novasi yaitu :
1)
Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2)
Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
Pembebasan utang.
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan
kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau
persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum.
Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum
dianggap tidak pernah terjadi. Syarat yang membatalkan, yang dimaksud dengan
syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari
ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau
waktu, yaitu :
(1).
Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive
prescription”;
(2).
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan,
disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan
dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain
yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja
istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
Sumber :
ref:
wikipedia.com
fikaamalia.files.wordpress.com/2011/02/dasar-hukum-perikatan.doc
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
dan dari berbagai sumber
dan dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar